Cerita sahabat pendaki gunung papandayan yang diperas pihak pengelola gunung!

Gue mau share keluh kesah tentang pengalaman camping di Gunung Papandayan, di catper ini bakal ngebahas tentang ke-komersilan gunung yang ada di Garut ini. Mulai dari mahalnya tiket masuk, kurang sepadannya harga tiket masuk dengan fasilitas dan PUNGLI yang ter-organisir yang dilakukan oleh pihak pengelola kawasan.

Catper ini ditulis oleh Rengganis Parahita dan jika berkenan mohon di share supaya ada kebijakan baru yang lebih baik.

Alkisah gw yang udah keburu sakaw naik gunung karena tahun ini belum ke mana-mana sama sekali, akhirnya memutuskan untuk naik ke gunung Papandayan di hari Minggu, 14 Agustus 2016. Gunung yang sangat tenar di kalangan “hipster” ibukota dan anak-anak muda lainnya ini jadi target pendakian karena beberapa alasan. Pertama yaitu karena paling dekat dan paling mungkin untuk direalisasikan dalam waktu dekat, dua adalah karena sepertinya hampir semua orang telah ramai membicarakan gunung pendek yang katanya cukup indah ini, dan terakhir adalah karena rencana ke Rinjani dan Semeru gw gagal total, maka cuma gunung ini yang bisa dijadikan emergency drug sebelum gw tambah mencak-mencak. Haha..

Perjalanan dimulai pukul 07.30 pagi dari Jakarta menuju Garut dengan menggunakan mobil saudara Iqbal Tawakkal yang untungnya besar jadi muat untuk nampung 3 carrier besar, 2 daypack gendut, dan 4 orang rempakem (remaja pecinta kemping) lainnya yaitu gw, Rizki Kurniawan, Finishtra Desriansyah, dan Negri Impian.

Sampai di Garut, udara sangat bersahabat. Dingin! Belum sampai di kaki gunung, kita sudah disambut oleh kabut-kabut tipis yang cantik dan mampu membuat kita mematikan AC mobil dan menggantinya dengan udara luar yang sejuk dan membuat semakin ingin lekas mendaki. Jujur. Gw penasaran dengan bagaimana trek, pemandangan, dan segala rupa Papandayan yang selama ini banyak dibicarakan. Apakah memang betul-betul menyenangkan untuk disinggahi, dan lain sebagainya. Excitement gw gak terbendung karena selain memang sakaw gunung nya sudah kebangetan, yang pernah ke gunung itu cuma satu dari kita berlima. Jadi semua pun penasaran.

Sebelum naik, tentu kita belanja untuk melengkapi logistik. Yah untuk 5 orang kira-kira uang yang keluar untuk logistik sekitar 550.000 rupiah lah. Itu sudah termasuk air 1.5 liter 6 botol, minuman-minuman instan, minuman langsung minum, beras, telur, snack, sayur-sayuran, bumbu masak, dan lain sebagainya yang dipersiapkan untuk pendakian 3 hari 2 malam. Setelah semua siap, perjalanan pun dilanjutkan sampai masuk ke pos pendakian Gunung Papandayan bernama Camp David. Sebelum masuk camp, mobil kami diperiksa di gapura pertama. Di sana, kami diminta untuk membayar uang masuk kawasan plus uang camping sejumlah 65.000 satu orang yang artinya, baru di gapura pertama, uang 325.000 sudah melayang. Setelah sampai camp, tentunya kami melakukan prosedur perizinan. Ketika itu, ketua grup diminta melapor akan melakukan pendakian kapan dan akan bermalam (nge-camp) berapa hari. Maka kami pun melaporkan diri dan menyatakan bahwa pendakian akan dilakukan sore itu juga dan camping selama 1 malam. Setelah itu, uang kembali harus dikeluarkan untuk biaya parkir mobil sebesar 25.000 dan tarif masuk mobil sebesar 35.000 (tarif weekend). Total, dari mulai masuk hingga akan mendaki, kami sudah mengeluarkan dana sebesar 385.000 di luar biaya belanja. Cukup mahal untuk ukuran pendakian gunung rendah dan di sekitaran Jawa Barat.

Selesai urusan perizinan dan keterkejutan mahalnya biaya, akhirnya pendakian pun dimulai tepat pukul 16.30 sore. Kabut mulai turun. Tebal sekali. Mujurnya ketika kami mendaki cuaca sedang baik. Tidak hujan atau hujan kabut. Menurut paparan penjaga pos, dua hari sebelum kami datang hujan terus tanpa berjenti. Tak heran jika sepanjang trek yang kami lalui, tanah sangat lah basah dan belog di beberapa titik tertentu dalam hutan. Kami pun harus melewati dua jenis jalur yaitu jalur pendaki yang didominasi oleh bebatuan dan akar-akar pohon, serta jalur motor yang cenderung lebih licin dan minim pijakan. Pemandangan awal pendakian memang menawan. Tak jauh berbeda dengan pemandangan di gunung Tangkuban Parahu. Namun kawah dan titik semburan belerang di Papandayan memang lebih megah. Bisa didengar gemuruh letupan belerang yang meluap-luap di trek awal sebelum masuk area hutan. Dengan beberapa view jurang dan tebing-tebing kapur serta bebatuan, gw pikir gw akan bisa menjadikan gunung ini destinasi “melarikan diri” di kemudian hari.

Setelah berjalan selama 2 jam, kami pun sampai di camp pendakian Pondok Saladah pada pukul 18.30. Udara dingin, tapi tak sedingin gunung lain yang lebih menusuk. Kami pun membuka tenda, memasak, berbincang, tertawa, tiup lilin untuk Balte yang lagi ulang tahun, baru kemudian tertidur untuk masuk pada hari kedua yaitu Senin, 15 Agustus 2016.

Esok paginya, kami berencana untuk pergi memuncak. Berhubung dari berbagai blog yang kami baca dan video Youtube yang kami tonton belum pernah ada yang membahas mengenai puncak Papandayan, maka kami berencana untuk mencarinya! Hahaha.. Sekitar jam 09.00, kami mulai jalan menuju Tegal Alun. Perjalanan dimulai dengan melewati hamparan pepohonan gosong yang disebut dengan Hutan Mati. Keren! Itu yang terucap pertama kali ketika melihatnya. Suasananya seperti pada film Sleepy Hollow atau film Tim Burton pada umumnya.. Kami pun menyempatkan diri untuk mengabadikan beberapa momen di sana. Pendakian pun dilanjutkan menuju Tegal Alun.

Di sepanjang trek, tidak ada papan petunjuk sama sekali yang menunjukkan arah menuju padang Edelweiss tersebut. Untung ada string line yang cukup membantu kami mencapai tujuan. Beberapa pikiran hal sempat terpikir. Untuk biaya masuk semahal itu dan untuk gunung setenar ini, seharusnya pihak pengelola gunung Papandayan bisa membuat papan petunjuk yang lebih layak. Toh trek menuju Tegal Alun bukanlah trek mudah. Trek nya cukup terjal, licin, tanpa pijakan di beberapa poin, dan masih terbilang rapat oleh pepohonan dan kumpulan Cantigi. Jadi rasanya tidak ada salahnya memberi petujuk bagi pendaki. Selain itu, di ujung trek, terdapat percabangan jalur yang jika pendaki salah ambil arah, kemungkinan tersesat bisa dialami.

Sesampainya di Tegal Alun, kami terpesona oleh padang Edelweiss yang manis.. Rupanya seperti Alun-Alun Surya Kencana namun dalam versi yang lebih mini dan seperti Mandala Wangi dalam versi yang lebih besar. Seperti biasa, kami bersenang-senang sambil berfoto dan tertawa besama sambil ditemani oleh bakwan buatan pagi tadi dan minuman berawarna yang menyegarkan.. Haha.. Ada pula danau kecil yang membawa imajinasi ke Ranu Kumbolo. Seakan-akan telah sampai ke Semeru, Tegal Alun rasanya seperti memberi janji-janji manis dan memori menggemaskan yang menyatupadukan Tangkuban Perahu, Gunung Salak, Gede-Pangrango, hingga pintu masuk Mahameru.

Hari mulai siang. Matahari pun semakin tinggi. Tapi kami belum juga bertemu puncak dan tak ada pula papan petunjuk yang mengarahkan kami untuk mencapainya. Hasilnya Finish dan Balte yang penasaran, mencoba menyisir trek selanjutnya yang mungkin bisa mengantar kami pada titik tertinggi. Satu jam berlalu, tapi mereka belum kembali. Kabut semakin pekat, udara semakin dingin, dan titik-titik air dari kabut mulai menghujani. Kami semakin khawatir karena mereka berdua tak kunjung kembali. 

Teriakan-teriakan mulai digemakan namun tak kunjung ada jawaban. Kami pun akhirnya memutuskan. Jika setengah jam lagi mereka tak datang, kami bertiga akan turun terlebih dahulu sebab cuaca semakin buruk. Untunglah tak lama akhirnya mereka kembali. Ternyata trek menuju puncak sangat rapat dan panjang dari Tegal Alun. That’s why teriakan kami tak ada yang terdengar oleh mereka. Butuh waktu khusus untuk menyusurinya yang jelas bukan hari ini. Alang-alang setinggi kepala mendominasi dan sungai kecil pun menghiasi jalur menuju puncak. Maybe one day we’ll be there, yes?

Sesaat setelah itu kami kembali turun. Kali ini dengan kabut yang jauh lebih tebal dari sebelumnya. Pemandangan Hutan Mati betul-betul seperti di alam mimpi. Hitam dan putih. Dua warna itu saja yang kontras terlihat. Magis. Dingin. Luas. Kondisi ini sesungguhnya juga rentan akan hilangnya jalur pulang karena jarak pandang maksimal kira-kira hanya sampai 4 meter. Tidak ada papan petunjuk yang jelas yang mengarahkan pendaki pada jalur yang benar. Hutan Mati sangatlah besar dan jika diterabas dalam kabut sepekat itu, orang bisa dengan mudah tersasar. Untung kami masih bisa mengandalkan ingatan dan logika pendakian. Sebab ketika kami sampai kembali di Pondok Saladah, para anggota keamanan gunung telah melarang siapapun yang akan melakukan pendakian akibat kabut yang tak bersahabat.
FYI, gunung ini terbilang labil. Setidaknya kemarin saat kami di sana. Cuaca bisa sangat cerah dan berubah menjadi sangat berkabut dalam hitungan menit.

Setelah selesai melakukan pendakian yang artinya hanya bisa sampai Tegal Alun, kami pun memutuskan untuk menginap 1 malam lagi karena memang rencana awal seperti itu dan kondisi cuaca yang membuat kami agak malas untuk turun. Untuk diketahui, pagi sebelum berangkat, kami sudah diingatkan oleh para petugas dan penjaga camping ground untuk menambah biaya menginap sebesar 25.000 lagi per orang. Beberapa diantara kami sudah mencoba berdiskusi untuk meringankan biaya karena jujur saja, uang kami habis. Kami betul-betul tidak ada preparasi untuk membawa uang sebanyak itu karena di hari pertama, uang telah jor-jor an untuk belanja, uang masuk kawasan wisata, biaya parkir, dan biaya menginap. Dari situ, kita sudah aneh karena biaya masuk, biaya parkir, dan biaya menginap dibedakan dan dengan jumlah yang tidak sedikit. Itu semua hitungannya mahal! Oke lah kalau belanja memang setiap naik gunung kita selalu punya spare money setidaknya 100.000-200.000 untuk kelengkapan logistik dan biaya tak terduga. Apalagi jika akan naik lebih dari 1 hari. Tapi untuk biaya perizinan dan lain sebagainya, kita tidak pernah punya pengalaman sebelumnya untuk menyediakan uang lebih dari 100.000. Apalagi hitungannya “hanya” di Jawa Barat. Oleh sebab itu, ketika kita katakan kita mengajukan keringanan biaya, petugas mengatakan bahwa hal tersebut akan dipertimbangkan.

Setelah kembali dari Tegal Alun, kami dihampiri kembali. Ternyata pengajuan tersebut ditolak dan artinya kami tidak bisa melanjutkan menginap di sana. Di situ kami sedikit kecewa karena baru kali ini rasanya terusir dari gunung hanya karena tidak bisa bayar biaya harian. Gw mulai agak mangkel. Ini gunung apa hotel kok komersil sekali. Tapi lama kelamaan, gw coba ambil sisi positifnya. Memang dari segi kebersihan, untuk gunung yang terbilang jadi favorit pendaki-pendaki pemula, gunung ini terbilang bersih. Air melimpah ruah, kamar mandi banyak dan tidak jorok sama sekali. Semua terawat dengan baik. Keamanan pun 24 jam. Petugas lebih dari satu. Jadi memang seakan-akan Papandayan dipersiapkan untuk menjadi gunung wisata di kemudian hari. Setelah berpikir begitu, gw langsung maklum dan mulai menerima bahwa kami harus turun hari itu karena sudah keburu kere. Tak lama gw coba buka dompet. Siapa tahu ada uang lebih untuk nanti pulang. Seketika gw kaget! Ada 100.000! Hahahha.. Akhirnya uang itu kami pakai untuk melanjutkan menginap.. Artinya, uang keluar lagi sebesar 125.000 untuk biaya bermalam kedua. Setelah itu kami pun aman. Urusan selesai dan setelah sempat bersitegang dengan petugas perihal bayar membayar, mereka pun membolehkan kami stay dan menyatakan “oke.. sudah aman!”.

                                   Baca Juga
6 Kesalahan yang sering dilakukan pendaki
10 Pendaki Cantik Asal Indonesia 
Jika Tersesat Dihutan lakukan hal ini.. 

Waktu bergulir hingga malam. Kami masak, minum-minum susu hangat, kopi, dan teh, sambil lagi-lagi berbincang seru. Tiba-tiba, urusan kembali datang. Petugas shift malam mendatangi kami. Mereka bilang UANG KAMI KURANG! WTF! Setelah tadi siang hampir terusir, lalu akhirnya nemu uang seterakhir-terakhirnya dan sudah dibayarkan seperti yang diminta sesuai dengan SOP dan ketentuan hitam di atas putih, tiba-tiba kami diharuskan membayar LAGI. Kami mulai panas dan menganggap gunung ini terlalu komersil dan materialistis. Kasarnya, KAMI DIPALAK DI TEMPAT. Petugas itu bilang, shift siang dan shift malam orangnya lain. Shift malam tidak mendapat informasi mengenai kesudahselesaian urusan bayar membayar kami dari shift siang yang telah selesai jam tugas. Shift malam hanya diminta oleh peugas di bawah untuk menagih kekurangan pada kami. Kami mulai kesal dan merasa dipermainkan. Menurut mereka, kami seharusnya membayar 35,000 karena masih masuk hitungan weekend. Padahal itu sudah hari senin. 

Pun kalau mau disatukan dengan momen 17 Agustusan, kami membayar tadi siang adalah untuk menginap dari tgl 15-16. Tidak ada urusan dengan hari kemerdekaan. Mereka tidak mau tahu dan bilang grup kami masih kurang 50.000. Ditambah lagi dengan biaya parkir yang artinya kurang 25.000 lagi karena menambah satu malam dan biaya masuk kawasan per orang yang dihitung sebagai biaya tiktok (keluar-masuk) sebesar 125.000 rupiah. HAHH?! Turun saja belum apalagi keluar dari kawasan. Bagaimana bisa mereka menagih biaya masuk kawasan lagi. Semua sudah terasa mulai dibuat-buat. Kami pun bersikukuh tidak mau membayar sebab petugas siang telah menyatakan bahwa kita semua aman dan secara gamblang menyebutkan bahwa clear tidak akan ada biaya tambahan. Gw agak gak ngerti. Sebenarnya ini salah kita si pendaki yang gak ngerti aturan atau dari pihak gunung Papandayannya yang gak jelas kasih penjabaran ke kita. Miskomunikasinya aneh.

Suasana mulai tidak enak dan menjadi sedikit panas. Petugas penagih menyatakan bahwa mereka hanya menerima suruhan dari bawah untuk menagih. Sedangkan kami merasa diperas. Ketidakjelasan koordinasi membuat kami agak naik darah. Betul-betul baru sekali naik gunung tapi merasa diperlakukan seperti itu. Akhirnya karena kami tetap tidak mau membayar, petugas mencoba berkoordinasi kembali melalui HT dan mengizinkan untuk tidak membayar. Urusan pun kembali selesai.
Buat gw, ini bukan masalah uang sama sekali.

 Kalau pun kita masih ada 200.000 sekalipun, pasti kita akan tetap menolak untuk membayar. Alasan pertama, informasi sangat tidak jelas dan yang tertulis di SOP tidak sama seperti apa yang tiba-tiba ditagihkan. Oke kalau harus menambah 25ribu atau 35ribu per malam seperti ketentuan ya kita tidak masalah. Tapi kalau dipalak di tempat untuk membayar uang parkir, uang masuk (yang kita masih di dalam belum keluar), dan uang tambahan yang padahal katanya tadi siang sudah aman dan tidak ada biaya apa-apa lagi yang harus dibayar, rasanya itu sudah keterlaluan. Berasa seperrti praktik pungutan liar (pungli). Pengunjung dan pendaki seakan-akan dikondisikan seperti sedang menginap di hotel bintang lima yang jika tidak bisa bayar ya pulang saja sana jangan menginap di sini. Kedua, Petugas keamanan 24 jam yang mengawasi kami ternyata tidak hanya bertugas menjaga keamanan tetapi juga menagihkan kekurangan uang pengunjung. Ya.. Menagihkan kekurangan uang di saat kami sedang menikmati malam.

 Agak tidak etis kan? Gw gak tahu prosedur ini datangnya dari mana dan atas kesepakatan siapa. Tapi sejak gunung-gunung diurus oleh entah Taman Nasional atau Perhutani, dan sejak dijadikan kawasan wisata alam yang dianggap bisa mendatangkan keuntungan, kemolekan alam menjadi begitu komersil. Konsep “kawasan wisata” menjadi tidak karuan dan abu-abu. Sudah tidak bisa diketahui lagi motivasi pendanaan sebesar itu apakah memang digunakan untuk menjaga kelestarian alam atau untuk meraup keuntungan. Ini pun masih tetap abu-abu. Apakah hasil dari seluruh pembayaran tersebut masuk pada kas Taman Nasional atau Perhutani, ataukah masuk pada kantong-kantong pengelola pribadi yang datangnya dari masyarakat (premanisme lokal). Mungkin hal ini kurang dirasakan oleh mereka yang naik secara tektok. Artinya hanya naik dan langsung turun di hari yang sama. Tidak menginap.

Gw semakin kecewa dengan adanya momen-momen itu. Artinya dari mulai masuk, kami sudah mengeluarkan uang sebesar 77.000 rupiah per orang yang seharusnya masih harus ditambah 47.000. Jika ditotal, untuk menginap berlima selama 3 hari 2 malam di gunung Papandayan, dengan mobil sendiri, kita telah membayar 510.000! Itu pun setelah bersikeras dengan tidak mau membayar uang tiktok. Angka yang lumayan fantastis untuk gunung sedekat dan sependek Papandayan.

Yah mungkin kisah gw untuk pendakian kali ini kira-kira begitu. Bye Papandayan. Sepertinya kita gak cocok dan gak jodoh. Untuk pertama dan terakhir kalinya gw menginjakkan kaki di situ. Maaf ya kalau gw ilfil n gak mau lagi. Banyak gunung yang lebih indah, lebih manusiawi, dan lebih murah untuk didaki di luar sana. Maaf kalau saya bilang kamu biasa saja. Sebenarnya kamu cantik. Tapi kekomersilanmu menjadikan kamu seketika tak ada artinya dibanding mereka yang jauh lebih manis dan lebih megah. Memang belum banyak gunung yang gw daki. Tapi gw yakin, banyak yang lebih worthy untuk dikunjungi.

Rangkuman biaya keseluruhan:

Total pengeluaran pribadi (per orang) yang TELAH dibayarkan:
Uang masuk gapura : 65.000
Uang masuk mobil/ hari: 7000 patungan (35.000: 5)
Uang menginapkan mobil: 5000 patungan (25.000 : 5)
Uang tambahan menginap: 25.000 (menginap semalam hari biasa)
___________________________________________________ Total : 102.000
Total pengeluaran pribadi yang diminta :
Uang masuk gapura : 65.000
Uang masuk mobil/ hari: 7.000 patungan (35.000: 5)
Uang parkir: 5.000 patungan (25.000 : 5)
Uang tambahan menginap: 35.000
Uang tambahan parkir: 5.000 patungan (25.000 : 5)
Uang tiktok : 25.000/orang (125.000 : 5)
____________________________________________________ Total: 142.000
Jika dikalikan 5 orang, total pemasukan yang TELAH diterima oleh pihak pengelola dari kelompok kami adalah 102.000 x 5 = 510.000
Dan
Jika dikalikan 5 orang, total pemasukan yang DIHARAPKAN diterima oleh pihak pengelola dari kelompok kami adalah 142.000 x 5 = 710.000
Untuk pendakian 3 hari 2 malam.

Note :
Sebenarnya biaya yang diharapkan ini tidak pasti dan tidak jelas. Karena mereka memintanya langsung tanpa rincian. Namun yang jelas jumlah yang diminta tidaklah sedikit.

Berikut sedikit foto-foto keindahan Gunung Papandayan

Papandayan : Keelokan yang Komersil

Papandayan : Keelokan yang Komersil

Papandayan : Keelokan yang Komersil

Papandayan : Keelokan yang Komersil

Papandayan : Keelokan yang Komersil

Papandayan : Keelokan yang Komersil

Info penulis https://www.facebook.com/rengganis.parahita
loading...

Hobi Nonton Bioskop Drama Korea dan Genre Lainya Cek Disini
Cinema313

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerita sahabat pendaki gunung papandayan yang diperas pihak pengelola gunung!"

Posting Komentar