Anak-anak Dusun IV, Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, menyeberangi Sungai Subayang menuju SD Negeri 017 tempat mereka belajar
Meski tinggal di sudut daerah, tapi semangat sekolah dan mmebaca
anak-anak di sepanjang Sungai Subayang, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten
Kampar, tidak pernah surut. Mereka membaca buku seadanya dan berharap
ada perpustakaan, meski kecil, terbatas dan sederhana.
HARI menjelang senja. Anak-anak Desa Aur Kuning sibuk menuju lapangan bola. Nun, di seberang sana, jembatan gantung memperpanjang langkah untuk bisa sampai seberang, tempat pustaka kecil itu berada. Sangat sederhana. Hanya bangunan tua, rumah batu bekas kantor kepala desa lama yang sudah tidak dipakai. Jumlah bukunya juga terbatas. Hanya puluhan. Tak heran, lemari kecil yang terbuat dari kayu dan sudah miring tempat buku bacaan yang hanya puluhan itu, langsung kosong.
Meski tak seberapa, tapi berbagai buku bacaan ada di sana. Buku baca bergambar paling disenangi anak-anak. Mereka berebut. Perpustakaan berupa bangunan rumah dengan tiga ruang kecil dan satu ruang utama itupun penuh. Ruang sebelah kanan merupakan ruang perpustakaan. Di sanalah satu lemari kayu kecil tempat buku seadanya tersandar di dinding. Gambar dan informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan, juga tertempel di sana.
Sementara, ruang sebelah kanan menjadi pusat latihan anak-anak. Di sinilah mereka mempraktekkan isi buku bacaan tersebut. Seperti tempat mereka belajar menceritakan kembali buku yang sudah dibaca, tempat mereka belajar membaca puisi atau kegiatan lainnya. Ruang bagian belakang masih kosong. Sedangkan ruang utama menjadi tempat pendaftaran peminjaman buku.
Ruang tanpa meja. Anak-anak itu membaca di lantai. Tanpa tikar. Bahkan
duduk di antara debu lantai semen, mereka tak peduli. Panas senja yang
cukup terik seolah menembus atap seng tanpa plafon ke ruang-ruang
tersebut. Panas. Baju mereka basah. Bedak putih di wajah Ani menjadi
timbul. Menempel-nempel tak rata di kening dan pipinya. Tapi ia tak
peduli. Kalau terasa sesak membaca di dalam ruang, Ani, atau temannya
yang lain membaca hingga ke teras sambil melihat orang-orang dewasa
bermain bola di lapangan yang terletak persis di depan pustaka. Mereka
juga tak peduli dengan sebuah makam tua yang ditumbuhi pohon, persis di
depan teras tersebut.
Uniknya, pustaka ini terletak di atas bukit kecil sehingga lapangan bola yang berada di bawahnya terlihat lebih besar. Hamparan bukit yang membentang di depan, kanan, kiri dan belakang pustaka, membuat anak-anak lebih nyaman membaca di luar ruangan. Sungai Subayang di sebelah kiri, dan anak sungai yang berbelok di bagian belakang pustaka dengan jembatan menggantung di atasnya membuat pustaka itu terasa semakin indah. Anak-anak bebas membaca di mana saja, di ruang mana saja, tapi tidak boleh jauh-jauh agar buku tetap terjaga. Begitu kata kakak-kakak yang dipercaya menjaga perpustakaan tersebut.
Pustaka itu memang baru didirikan sangat baru. Awalnya hanya keinginan beberapa masyarakat dan pemuda setempat. Tapi keinginan itu kemudian disambut baik oleh WWF Riau yang turut membina dan menjaga kawasan konservasi Rimbang Baling. Bahu membahu, mereka mencari buku dari siapa saja. Beberapa dibeli, tapi sebagian besar sumbangan masyarakat. Dari keinginan itu pula masyarakat dan menyediakan tempat pustaka yang dimaksud meski hanya di rumah bekas kantor desa yang tidak seberapa.
Uniknya, pustaka ini terletak di atas bukit kecil sehingga lapangan bola yang berada di bawahnya terlihat lebih besar. Hamparan bukit yang membentang di depan, kanan, kiri dan belakang pustaka, membuat anak-anak lebih nyaman membaca di luar ruangan. Sungai Subayang di sebelah kiri, dan anak sungai yang berbelok di bagian belakang pustaka dengan jembatan menggantung di atasnya membuat pustaka itu terasa semakin indah. Anak-anak bebas membaca di mana saja, di ruang mana saja, tapi tidak boleh jauh-jauh agar buku tetap terjaga. Begitu kata kakak-kakak yang dipercaya menjaga perpustakaan tersebut.
Pustaka itu memang baru didirikan sangat baru. Awalnya hanya keinginan beberapa masyarakat dan pemuda setempat. Tapi keinginan itu kemudian disambut baik oleh WWF Riau yang turut membina dan menjaga kawasan konservasi Rimbang Baling. Bahu membahu, mereka mencari buku dari siapa saja. Beberapa dibeli, tapi sebagian besar sumbangan masyarakat. Dari keinginan itu pula masyarakat dan menyediakan tempat pustaka yang dimaksud meski hanya di rumah bekas kantor desa yang tidak seberapa.
Anak-anak Desa Aur Kuning, sama dengan anak-anak tujuh desa lainnya
yang ada di sepanjang Subayang setelah Desa Tanjung Belit itu. Mereka
rajin sekolah. Untung di setiap desa ada Sekolah Dasar (SD) sehingga
anak-anak tidak perlu jauh-jauh sekolah. Tapi untuk tingkat SMP, hanya
ada di beberapa desa saja, yakni di Desa Salo, Aur Kuning dan Batu
Songgan. Sedangkan di desa lain, tidak ada.
Sebetulnya ada 10 desa di sepanjang sungai tersebut, yakni, Desa Gema, Tanjung Belit, Muara Bio, Batu Songgan, Tanjung Beringin, Gajah Batalut, Aur Kuning, Terusan, Salo dan Pangkalan Serai. Seluruh desa ini berada di sisi kiri sungai, kecuali Desa Tanjung Beringin. Saat ini, desa ini pun sudah berkembang hingga ke seberang kiri sungai, khususnya Dusun IV.
Setiap sekolah di desa-desa tersebut tidak memiliki pustaka. Jangankan buku bacaan, buku pelajaran saja masih buku-buku yang lama seperti buku pelajaran tahun 2010. Buku-buku pelajaran inilah yang menjadi pegangan guru. Sudah pasti jauh tertinggal dengan daerah lain yang memiliki akses telekomunikasi lebih baik. Tidak ada jaringan apapun di seluruh desa ini. Tidak ada jaringan telepon dan internet. Juga tidak ada listrik, kecuali Desa Gema. Hal ini menyebabkan guru sering ketinggalan informasi.
Jarak tempuh antara satu desa dengan desa lainnya juga sangat jauh. Dari Desa Gema sebagai desa pertama hingga Desa Pangkalan Serai sebagai desa paling ujung, jarak tempuh dengan menggunakan pompong sekitar 3 jam. Jika air besar, arus sangat deras. Jika air dangkal, seringkali pompong harus didorong karena tersangkut di antara batu-batu. Desa Pangkalan Serai yang lebih sulit dijangkat. Batu-batu di tengah sungai lebih besar. Arus juga lebih kencang dibandingkan dengan lainnya.
Tidak ada jalur lain yang bisa ditempuh kecuali jalur sungai. Sungai merupakan sumber kehidupan paling utama. Selain sebagai jalur transportasi, Sungai Subayang juga menjadi sumber pendapatan. Banyak masyarakat menjadi nelayan. Mengambil ikan di sungai, lalu menjualnya ke pasar di Desa Gema atau desa lain yang lebih jauh dari Desa Gema.
Sebetulnya ada 10 desa di sepanjang sungai tersebut, yakni, Desa Gema, Tanjung Belit, Muara Bio, Batu Songgan, Tanjung Beringin, Gajah Batalut, Aur Kuning, Terusan, Salo dan Pangkalan Serai. Seluruh desa ini berada di sisi kiri sungai, kecuali Desa Tanjung Beringin. Saat ini, desa ini pun sudah berkembang hingga ke seberang kiri sungai, khususnya Dusun IV.
Setiap sekolah di desa-desa tersebut tidak memiliki pustaka. Jangankan buku bacaan, buku pelajaran saja masih buku-buku yang lama seperti buku pelajaran tahun 2010. Buku-buku pelajaran inilah yang menjadi pegangan guru. Sudah pasti jauh tertinggal dengan daerah lain yang memiliki akses telekomunikasi lebih baik. Tidak ada jaringan apapun di seluruh desa ini. Tidak ada jaringan telepon dan internet. Juga tidak ada listrik, kecuali Desa Gema. Hal ini menyebabkan guru sering ketinggalan informasi.
Jarak tempuh antara satu desa dengan desa lainnya juga sangat jauh. Dari Desa Gema sebagai desa pertama hingga Desa Pangkalan Serai sebagai desa paling ujung, jarak tempuh dengan menggunakan pompong sekitar 3 jam. Jika air besar, arus sangat deras. Jika air dangkal, seringkali pompong harus didorong karena tersangkut di antara batu-batu. Desa Pangkalan Serai yang lebih sulit dijangkat. Batu-batu di tengah sungai lebih besar. Arus juga lebih kencang dibandingkan dengan lainnya.
Tidak ada jalur lain yang bisa ditempuh kecuali jalur sungai. Sungai merupakan sumber kehidupan paling utama. Selain sebagai jalur transportasi, Sungai Subayang juga menjadi sumber pendapatan. Banyak masyarakat menjadi nelayan. Mengambil ikan di sungai, lalu menjualnya ke pasar di Desa Gema atau desa lain yang lebih jauh dari Desa Gema.
Selain memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan, mayoritas juga
berkebun. Karet paling dominan di sana. Meski di kelilingi bukit nan
tinggi, di antara bukit itulah kebun-kebun karet itu berada. Warga yang
berprofesi sebagai guru, juga berkebun. Sebagian guru ada yang menyadap
karet terlebih dulu sebelum masuk ke ruang kelas. Kadang tanpa pulang
atau mandi terlebih dulu. Apalagi kalau kebun karet tersebut memang
dekat dengan sekolah.
Kawasan Sungai Subayang kerap dilanda banjir bandang. Tahun 2011, banjir besar melanda kawasan ini. Seluruh kampung hampir terendam. Bahkan air sungai melimpah hingga ke atap sekolah SD yang ada di Desa Batu Songgan. Semua habis. Buku-buku sekolah, termasuk buku tulis anak-anak yang ditinggal di dalam kelas, turut hanyut. Buku-buku itu memenuhi permukaan sungai. Lagi-lagi harus mengumpulkan buku baru. Buku pelajaran dan buku tulis baru.
Kawasan Sungai Subayang kerap dilanda banjir bandang. Tahun 2011, banjir besar melanda kawasan ini. Seluruh kampung hampir terendam. Bahkan air sungai melimpah hingga ke atap sekolah SD yang ada di Desa Batu Songgan. Semua habis. Buku-buku sekolah, termasuk buku tulis anak-anak yang ditinggal di dalam kelas, turut hanyut. Buku-buku itu memenuhi permukaan sungai. Lagi-lagi harus mengumpulkan buku baru. Buku pelajaran dan buku tulis baru.
sumber : riaupos.co
loading...
0 Response to "Membaca dengan Keterbatasan, semangat yang luar biasa!!!"
Posting Komentar